Bisnis dan Lingkungan Sosial
Sebuah bisnis dapat berkembang jika lingkungan bisnis mendukung pertumbuhan bisnis. Bisnis sebagai suatu entitas, letaknya berada di tengah-tengah lingkungan bisnis, yang mana setiap perubahan pada salah satu aspek dalam lingkungan tersebut akan mempengaruhi cara-cara untuk berbisnis. Selain itu, perubahan yang terjadi juga mempengaruhi kemampuan adaptasi organisasi tersebut, yang pada akhirnya akan menentukan kesuksesan atau kegagalannya. Salah satu aspek dari lingkungan bisnis adalah lingkungan sosial. Arti pentingnya lingkungan sosial terhadap bisnis adalah, bahwa ketika lingkungan sosial bersifat kondusif (mendukung) terhadap jalannya suatu bisnis, maka hal tersebut dapat mendorong organisasi untuk melakukan keputusan berinvestasi pada lingkungan yang dirasakannya sesuai. Demikian juga sebaliknya, jika lingkungan sosial tidak mendukung jalannya suatu bisnis, maka sebaiknya organisasi tidak mengambil keputusan berinvestasi.
Bisnis dapat didefinisikan sebagai upaya yang terorganisir dari individu maupun organisasi, untuk memproduksi dan / atau menjual produk (barang atau jasa) yang diperlukan oleh masyarakat guna mendapatkan keuntungan (Achjari, 2008). Agar dapat terus tumbuh dan berkembang, idealnya suatu bisnis dilakukan dengan mendasarkan pada tiga filosofi utama. Ketiga filosofi tersebut adalah, yaitu: memperoleh tingkat keuntungan yang maksimum, bersifat jangka panjang, dan bertanggung jawab secara sosial (Achjari, 2008). Dapat disimpulkan bahwa, jalannya aktivitas bisnis untuk jangka panjang hendaknya tidak hanya bersifat ekonomis semata tetapi juga harus selaras dengan nilai-nilai sosial yang ada. Keuntungan (profit) memang tujuan dari setiap bisnis, tetapi jangan sampai hal tersebut menjadi tujuan yang utama. Karena tujuan yang utama dari setiap bisnis adalah, bagaimana memperoleh profit yang bersifat jangka panjang. Tidak ada artinya jika sebuah perusahaan memperoleh profit yang besar, tetapi hal tersebut hanya berlangsung dalam jangka pendek. Sehingga untuk menjamin bahwa perusahaan akan memperoleh profit yang bersifat jangka panjang, perhatian kepada nilai-nilai sosial dalam aktivitas bisnis mutlak dilakukan.
Lingkungan sosial merupakan aspek-aspek dari interaksi manusia melalui kelompok, apakah itu dekat ataupun jauh, yang dapat berpengaruh pada kelangsungan dan pertumbuhan perusahaan (Ancok, 2009). Interaksi sosial tidak akan terjadi bila tidak memenuhi dua syarat, yaitu: adanya kontak sosial (social contact) dan adanya komunikasi (communication). Menurut para ahli sosial, bentuk-bentuk interaksi sosial dapat berupa kerjasama (cooperation), persaingan (competition), akomodasi (accomodation), dan dapat juga berbentuk pertentangan (conflict).
Terdapat empat cara untuk menyikapi dampak perubahan lingkungan sosial terhadap aktivitas bisnis. Pertama, bahwa perubahan lingkungan sosial secara alamiah menimbulkan peluang maupun ancaman terhadap aktivitas bisnis. Kedua, perubahan lingkungan sosial digunakan oleh organisasi sebagai faktor penentu untuk membuat keputusan berinvestasi. Ketiga, perubahan lingkungan sosial mempengaruhi keputusan organisasi untuk menjalankan bisnis di lokasi tertentu. Dan yang terakhir adalah, perubahan yang ada menuntut organisasi untuk menerapkan cara berpikir baru dalam menjalankan bisnis. (Ancok, 2009).
Permasalahan
Negara yang memiliki kandungan sumber daya alam yang besar, idealnya negara tersebut memiliki tingkat kemakmuran relatif lebih tinggi dibandingkan dengan negara lain yang tidak memiliki sumber daya alam. Logika yang menjelaskan premis tersebut adalah, bahwa sumber daya alam yang ada dimanfaatkan untuk menggerakkan aktivitas pembangunan. Aktivitas pembangunan yang paling vital adalah penyediaan infrastruktur. Infrastruktur merupakan segala sarana yang menunjang untuk dilakukannya bisnis. Dengan adanya infrastruktur yang memadai, maka bisnis bisa dijalankan dan pada akhirnya akan menimbulkan multiplier effect yang lain, berupa semakin terbukanya akses masyarakat terhadap pemenuhan kebutuhan akan pendidikan dan kesehatan yang memadai. Pendidikan dan kesehatan yang memadai berdampak pada upaya pengentasan kemiskinan dan penciptaan sumber daya manusia yang berkualitas. Dengan teratasinya masalah kemiskinan dan terciptanya sumber daya manusia yang berkualitas, maka hal tersebut akan menciptakan kemandirian sekaligus memperkuat daya saing di lingkungan pergaulan internasional. Tetapi pada kenyataannya, tidak semua negara mengalami siklus ideal seperti yang telah disebutkan. Ada negara-negara yang walaupun memiliki anugerah sumber daya alam relatif besar, tetapi pada kenyataannya justru mengalami kemunduran ekonomi dan daya saing. Paradoks tersebut biasanya dialami oleh negara-negara yang sedang berkembang. Indonesia sebagai salah satu negara berkembang dengan anugerah sumber daya alam relatif besar, yang walaupun relatif tidak mengalami kemunduran ekonomi dan daya saing, tetapi tidak bisa dikatakan telah optimal dalam memanfaatkan sumber daya alam tersebut untuk menyejahterakan masyarakat.
Salah satu sumber daya alam yang vital untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat adalah sumber daya energi. Dikatakan vital karena, keamanan pasokan energi merupakan hal yang mendasar untuk mempertahankan keberlangsungan pembangunan ekonomi. Kapasitas energi yang terbatas akan berdampak pada potensi produksi, yang pada gilirannya akan menjadi penghambat dalam menopang pembangunan ekonomi jangka panjang. Secara garis besar, sumber daya energi bisa digolongkan menjadi dua, yaitu: sumber daya energi yang bisa diperbaharui (renewable energy resources) dan sumber daya energi yang tidak bisa diperbaharui (non renewable energy resources). Sumber daya energi yang bisa diperbarui adalah segala jenis sumber daya yang menghasilkan energi yang tidak berasal dari fosil makhluk hidup. Yang tergolong ke dalam sumber daya energi yang bisa diperbarui adalah, yaitu: tenaga angin, tenaga air, tenaga surya, panas bumi, mini atau micro hydro, bio massa, dan nuklir (www.esdm.go.id, 2009). Sedangkan sumber daya energi yang tidak bisa diperbarui adalah, segala jenis sumber daya yang menghasilkan energi yang berasal dari fosil makhluk hidup. Proses terbentuknya fosil tersebut membutuhkan waktu selama berjuta-juta tahun lamanya, dan kebanyakan baru bisa dimanfaatkan setelah dilakukan serangkaian tahap yang relatif rumit (mulai dari tahap eksplorasi dari dalam perut bumi, tahap pengolahan, hingga tahap pemberian nilai tambah). Yang tergolong ke dalam sumber daya energi yang tidak bisa diperbarui adalah, yaitu: minyak bumi, gas bumi, dan batu bara (www.esdm.go.id, 2009).
Sedangkan alasan lain mengenai arti pentingnya sumber daya energi adalah, bahwa hampir semua sektor kehidupan (yaitu sektor industri, sektor rumah tangga, sektor transportasi, dan lain-lain) tidak bisa dipisahkan dari sumber daya energi. Bagi rumah tangga, ketersediaan sumber daya energi berperan penting untuk menyediakan penerangan, memasak, dan aktivitas rumah tangga yang lain. Permasalahan yang sering muncul terkait dengan konsumsi sumber daya energi pada sektor rumah tangga dapat digolongkan menjadi dua, yaitu: disparitas dan aksesibilitas. Terkait dengan disparitas adalah, adanya perbedaan konsumsi sumber daya energi antara kelompok masyarakat miskin dengan kelompok masyarakat kaya. Sedangkan untuk aksesibilitas adalah, kemudahan untuk memperoleh sumber daya energi, baik antara kelompok masyarakat miskin dengan kelompok masyarakat kaya, maupun antara kelompok masyarakat di daerah maju dengan kelompok masyarakat di daerah tertinggal.
Konsumsi Sumber Daya Energi pada Sektor Rumah Tangga
Penggunaan sumber daya energi oleh sektor rumah tangga, di seluruh dunia berkontribusi sekitar 15 persen dari total konsumsi sumber daya energi (www.eia.doe.gov, 2009). Energy Information Administration (2009) mendefinisikan konsumsi sumber daya energi oleh sektor rumah tangga sebagai, segala jenis penggunaan sumber daya energi yang berbanding lurus dengan ukuran bangunan tempat tinggal. Logikanya, penggunaan sumber daya energi akan relatif besar jika ukuran bangunan tempat tinggal juga besar, dan demikian pula sebaliknya. Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, bahwa permasalahan yang sering muncul terkait dengan konsumsi sumber daya energi pada sektor rumah tangga adalah aspek disparitas maupun aspek aksesibiltas.
Berdasarkan laporan yang dipublikasikan oleh International Energy Agency (2009), terdapat fakta bahwa sekitar 20 persen penduduk terkaya di dunia menggunakan sekitar 55 persen sumber daya energi primer, sedangkan sekitar 20 persen penduduk termiskin di dunia hanya menggunakan sekitar lima persen sumber daya energi primer. Sumber daya energi primer terdiri dari, yaitu: minyak bumi, gas bumi, batu bara, listrik yang dihasilkan dengan tenaga air, panas bumi, dan energi lainnya yang bersifat terbarukan (www.esdm.go.id, 2009). Dalam kelompok sumber daya energi primer, masih bisa dipersempit lagi ke dalam kelompok sumber daya energi final. Sumber daya energi final inilah yang secara aktual digunakan oleh rumah tangga. Yang termasuk di dalam kelompok sumber daya energi final adalah, yaitu: briket, minyak tanah, LPG, gas bumi, listrik, arang, dan kayu bakar (www.esdm.go.id, 2009). Hingga tahun 2005, sektor rumah tangga mengkonsumsi sumber daya energi final sebesar 315,10 juta SBM, yang terdiri atas konsumsi energi komersial sebesar 87,80 juta SBM dan energi non komersial sebesar 227,30 juta SBM. Sedangkan berdasarkan jenisnya, pada rentang waktu 1990 hingga 2005 terdapat tiga jenis sumber daya energi final yang penggunaannya mendominasi konsumsi di sektor rumah tangga, yaitu: minyak tanah, listrik, dan kayu bakar. Di dalam negeri sendiri, permasalahan yang terkait dengan aspek aksesibiltas bisa dilihat dari fenomena kelangkaan dan antrian untuk membeli minyak tanah dan LPG, serta rendahnya angka rasio elektrifikasi.
Kondisi Sumber Daya Energi Nasional
Kondisi sumber daya energi yang dimiliki oleh negara Indonesia saat ini dapat dikatakan belum didayagunakan secara optimal. Hal ini tercermin dari beberapa indikator, yaitu:
1) ketidakseimbangan komposisi pemanfaatan sumber daya energi primer.
Hingga tahun 2003, minyak bumi masih dominan sebagai sumber daya energi primer yang paling banyak dimanfaatkan, yaitu sebesar 54,4 persen. Kemudian secara berurutan adalah, yaitu: gas bumi (sebesar 26,5 persen), batubara (sebesar 14,1 persen), pembangkit listrik tenaga air (sebesar 3,4 persen), panas bumi (sebesar 1,4 persen), dan energi lainnya yang bersifat terbarukan (sebesar 0,2 persen);
2) ketidakseimbangan komposisi konsumsi sumber daya energi final.
Hingga tahun 2003, BBM masih dominan sebagai sumber daya energi final yang paling banyak dikonsumsi, yaitu sebesar 63 persen. Kemudian secara berurutan adalah, yaitu: gas (sebesar 17 persen), listrik (sebesar 10 persen), batubara (sebesar 8 persen), dan LPG (sebesar 2 persen);
3) ekspor sumber daya energi primer tinggi, sementara di sisi lain impor BBM juga tinggi;
4) harga ekspor gas bumi dan batubara lebih tinggi dari harga penjualan di dalam negeri; dan
5) APBN masih tergantung pada penerimaan dari sumber daya energi minyak bumi dan gas
bumi, serta adanya subsidi BBM.
Dari kondisi yang telah dipaparkan sebelumnya, maka hal tersebut menyebabkan pengembangan sumber daya energi alternatif (sebagai sumber daya energi yang bisa diperbarui) mengalami hambatan.
PEMBAHASAN
Peluang
Penggunaan sumber daya energi di Indonesia (seperti yang terjadi di negara-negara lain pada umumnya) telah meningkat pesat, seiring dengan pertumbuhan penduduk, pertumbuhan perekonomian, dan perkembangan teknologi. Sampai saat ini, minyak bumi masih merupakan sumber daya energi yang utama untuk memenuhi kebutuhan domestik. Selain untuk memenuhi kebutuhan energi di dalam negeri, minyak bumi juga berperan sebagai komoditas yang menghasilkan penerimaan negara dan sumber devisa. Peranan minyak bumi yang besar tersebut terus berlanjut, sedangkan cadangan semakin menipis. Di lain pihak, harga minyak bumi sangat sulit untuk diperkirakan, sebagai akibat banyaknya faktor eksternal yang berpengaruh (misalnya faktor keamanan di negara-negara produsen minyak bumi tersebut).
Menyadari ketergantungan yang sangat besar kepada minyak bumi tersebut, maka sejak tahun 2005 telah dilakukan upaya-upaya pembenahan oleh pemerintah. Upaya-upaya tersebut (dalam jangka panjang), selain bertujuan untuk menekan tingkat pertumbuhan konsumsi BBM juga bertujuan untuk mengurangi ekspor sumber daya energi primer. Untuk menekan tingkat pertumbuhan konsumsi BBM, pemerintah berinisiatif untuk melakukan pengembangan dan konversi ke bahan bakar non minyak. Ini berarti bahwa, fokus pemerintah dalam jangka panjang (diproyeksikan hingga tahun 2025) adalah mengimplementasikan kebijakan energi yang berdasarkan pengembangan sumber daya energi alternatif (yang bersifat dapat diperbarui). Yang tergolong ke dalam sumber daya energi yang bisa diperbarui adalah, yaitu: tenaga angin, tenaga air, tenaga surya, panas bumi, mini atau micro hydro, bio massa, dan nuklir.
Indonesia sebenarnya memiliki potensi sumber daya energi yang bisa diperbarui sebesar 311.232 MW. Dari jumlah tersebut, kurang lebih hanya 22 persen yang telah dimanfaatkan (www.esdm.go.id, 2009). Fakta tersebut menunjukkan bahwa, peluang bisnis yang terkait dengan penyediaan sumber daya energi yang bisa diperbarui, masih belum tergarap dengan optimal. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, dari berbagai alternatif sumber daya energi yang bisa diperbarui, manakah yang sebaiknya (untuk saat ini) mendapatkan prioritas untuk dikembangkan secara optimal? Dengan mempertimbangkan aspek-aspek lingkungan sosial, maka idealnya sumber daya energi alternatif yang perlu diprioritaskan saat ini adalah sumber daya energi berbasis bio massa. Alasan utama mengapa sumber daya energi alternatif tersebut perlu diprioritaskan adalah, karena: menggunakan teknologi tepat guna yang relatif sederhana, dapat disesuaikan dengan kondisi geografis setempat, dan menekankan pada pemberdayaan masyarakat.
Bio massa merupakan salah satu jenis sumber daya energi alternatif, yang dalam komposisi bauran energi primer secara nasional baru berkontribusi sebesar 0,2 persen saja. Bio massa yang telah diolah lebih lanjut, akan menjadi sumber daya energi final berupa bio fuel (yaitu bahan bakar alami dengan bahan baku bersumber dari alam, terutama dari tumbuh-tumbuhan dan hewan). Potensi energi bio massa sebesar 50 000 MW, dan hanya 320 MW yang sudah dimanfaatkan (hanya 0,64 persen dari seluruh potensi yang ada). Potensi bio massa di Indonesia bersumber dari limbah pertanian, limbah peternakan, dan juga limbah rumah tangga. Ini berarti bahwa, untuk mengembangkan pusat pengolahannya tidak hanya terbatas di kawasan yang secara khusus digunakan untuk pertanian dan peternakan, tetapi juga bisa dikembangkan di kawasan pemukiman penduduk.
Contoh bio massa yang bersumber dari limbah pertanian adalah, bio massa dengan memanfaatkan produk sampingan kelapa sawit. Indonesia memiliki potensi besar untuk memanfaatkan produk sampingan kelapa sawit sebagi sumber daya energi yang bisa diperbarui. Kelapa sawit Indonesia merupakan salah satu komoditas yang mengalami pertumbuhan sangat pesat. Pada periode tahun 1980-an hingga pertengahan tahun 1990-an, luas areal kebun meningkat sebesar 11 persen per tahun. Sejalan dengan luas area produksi, CPO juga meningkat sebesar 9,4 persen per tahun. Sampai dengan tahun 2010, produksi CPO diperkirakan meningkat sebesar lima hingga enam persen per tahun, sedangkan untuk periode 2010 hingga 2020 pertumbuhan produksi berkisar antara dua hingga empat persen. Pengembangan produk sampingan kelapa sawit sebagai sumber energi alternatif memiliki beberapa keunggulan. Pertama, sumber energi tersebut merupakan sumber energi yang bersifat renewable sehingga bisa menjamin kesinambungan produksi. Kedua, Indonesia merupakan produsen utama minyak kelapa sawit sehingga ketersediaan bahan baku akan terjamin dan industri ini berbasis produksi dalam negeri. Ketiga, pengembangan alternatif tersebut merupakan proses produksi yang ramah lingkungan.
Ancaman
Isu sensitivitas gender, jika tidak diperhatikan dengan cermat akan menimbulkan ancaman tersendiri, dalam upaya pengembangan sumber daya energi alternatif. Gender adalah suatu konsep yang membedakan laki-laki dan perempuan, semata-mata berdasarkan karakteristik sosial dalam bentuk tugas, peran, kewajiban dan hubungan. Perempuan, jika ada, jarang terlibat dalam proses pembuatan kebijakan dan program-program pengelolaan sumber daya energi, meskipun sesungguhnya mereka berperan besar dalam penyediaan dan pemanfaatan sumber daya energi, baik di pedesaan maupun perkotaan. Mayoritas di daerah pedesaan, yang mana energi komersial seperti listrik dan LPG tidak tersedia, perempuanlah yang bertanggungjawab dalam pengadaan dan pemanfaatan energi tradisional seperti kayu bakar dan arang (briket). Ironisnya, rata-rata sekitar 150.000 orang (didominasi oleh perempuan dan anak-anak) meninggal dini per tahun, disebabkan karena polusi udara dari penggunaan kayu bakar dan arang (www.iea.org, 2009). Perempuan di daerah perkotaan mempunyai peran yang cukup besar dalam menentukan bentuk sumber daya energi yang akan digunakan, pemilihan peralatan-peralatan energi, dan menerapkan gaya hidup hemat energi. Oleh sebab itu, dibutuhkan kesetaraan gender dalam sektor energi. Ini berarti bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai akses, kontrol, partisipasi dan manfaat yang sama dari energi. Kemudahan akses energi bagi perempuan, maka perempuan mempunyai kesempatan dan waktu untuk melakukan kegiatan lain, seperti meningkatkan ketrampilan dan pendidikan.
Lingkungan sosial merupakan aspek-aspek dari interaksi manusia melalui kelompok, apakah itu dekat ataupun jauh, yang dapat berpengaruh pada kelangsungan dan pertumbuhan perusahaan (Ancok, 2009). Interaksi sosial tidak akan terjadi bila tidak memenuhi dua syarat, yaitu: adanya kontak sosial (social contact) dan adanya komunikasi (communication). Menurut para ahli sosial, bentuk-bentuk interaksi sosial dapat berupa kerjasama (cooperation), persaingan (competition), akomodasi (accomodation), dan dapat juga berbentuk pertentangan (conflict).
Terdapat empat cara untuk menyikapi dampak perubahan lingkungan sosial terhadap aktivitas bisnis. Pertama, bahwa perubahan lingkungan sosial secara alamiah menimbulkan peluang maupun ancaman terhadap aktivitas bisnis. Kedua, perubahan lingkungan sosial digunakan oleh organisasi sebagai faktor penentu untuk membuat keputusan berinvestasi. Ketiga, perubahan lingkungan sosial mempengaruhi keputusan organisasi untuk menjalankan bisnis di lokasi tertentu. Dan yang terakhir adalah, perubahan yang ada menuntut organisasi untuk menerapkan cara berpikir baru dalam menjalankan bisnis. (Ancok, 2009).
Permasalahan
Negara yang memiliki kandungan sumber daya alam yang besar, idealnya negara tersebut memiliki tingkat kemakmuran relatif lebih tinggi dibandingkan dengan negara lain yang tidak memiliki sumber daya alam. Logika yang menjelaskan premis tersebut adalah, bahwa sumber daya alam yang ada dimanfaatkan untuk menggerakkan aktivitas pembangunan. Aktivitas pembangunan yang paling vital adalah penyediaan infrastruktur. Infrastruktur merupakan segala sarana yang menunjang untuk dilakukannya bisnis. Dengan adanya infrastruktur yang memadai, maka bisnis bisa dijalankan dan pada akhirnya akan menimbulkan multiplier effect yang lain, berupa semakin terbukanya akses masyarakat terhadap pemenuhan kebutuhan akan pendidikan dan kesehatan yang memadai. Pendidikan dan kesehatan yang memadai berdampak pada upaya pengentasan kemiskinan dan penciptaan sumber daya manusia yang berkualitas. Dengan teratasinya masalah kemiskinan dan terciptanya sumber daya manusia yang berkualitas, maka hal tersebut akan menciptakan kemandirian sekaligus memperkuat daya saing di lingkungan pergaulan internasional. Tetapi pada kenyataannya, tidak semua negara mengalami siklus ideal seperti yang telah disebutkan. Ada negara-negara yang walaupun memiliki anugerah sumber daya alam relatif besar, tetapi pada kenyataannya justru mengalami kemunduran ekonomi dan daya saing. Paradoks tersebut biasanya dialami oleh negara-negara yang sedang berkembang. Indonesia sebagai salah satu negara berkembang dengan anugerah sumber daya alam relatif besar, yang walaupun relatif tidak mengalami kemunduran ekonomi dan daya saing, tetapi tidak bisa dikatakan telah optimal dalam memanfaatkan sumber daya alam tersebut untuk menyejahterakan masyarakat.
Salah satu sumber daya alam yang vital untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat adalah sumber daya energi. Dikatakan vital karena, keamanan pasokan energi merupakan hal yang mendasar untuk mempertahankan keberlangsungan pembangunan ekonomi. Kapasitas energi yang terbatas akan berdampak pada potensi produksi, yang pada gilirannya akan menjadi penghambat dalam menopang pembangunan ekonomi jangka panjang. Secara garis besar, sumber daya energi bisa digolongkan menjadi dua, yaitu: sumber daya energi yang bisa diperbaharui (renewable energy resources) dan sumber daya energi yang tidak bisa diperbaharui (non renewable energy resources). Sumber daya energi yang bisa diperbarui adalah segala jenis sumber daya yang menghasilkan energi yang tidak berasal dari fosil makhluk hidup. Yang tergolong ke dalam sumber daya energi yang bisa diperbarui adalah, yaitu: tenaga angin, tenaga air, tenaga surya, panas bumi, mini atau micro hydro, bio massa, dan nuklir (www.esdm.go.id, 2009). Sedangkan sumber daya energi yang tidak bisa diperbarui adalah, segala jenis sumber daya yang menghasilkan energi yang berasal dari fosil makhluk hidup. Proses terbentuknya fosil tersebut membutuhkan waktu selama berjuta-juta tahun lamanya, dan kebanyakan baru bisa dimanfaatkan setelah dilakukan serangkaian tahap yang relatif rumit (mulai dari tahap eksplorasi dari dalam perut bumi, tahap pengolahan, hingga tahap pemberian nilai tambah). Yang tergolong ke dalam sumber daya energi yang tidak bisa diperbarui adalah, yaitu: minyak bumi, gas bumi, dan batu bara (www.esdm.go.id, 2009).
Sedangkan alasan lain mengenai arti pentingnya sumber daya energi adalah, bahwa hampir semua sektor kehidupan (yaitu sektor industri, sektor rumah tangga, sektor transportasi, dan lain-lain) tidak bisa dipisahkan dari sumber daya energi. Bagi rumah tangga, ketersediaan sumber daya energi berperan penting untuk menyediakan penerangan, memasak, dan aktivitas rumah tangga yang lain. Permasalahan yang sering muncul terkait dengan konsumsi sumber daya energi pada sektor rumah tangga dapat digolongkan menjadi dua, yaitu: disparitas dan aksesibilitas. Terkait dengan disparitas adalah, adanya perbedaan konsumsi sumber daya energi antara kelompok masyarakat miskin dengan kelompok masyarakat kaya. Sedangkan untuk aksesibilitas adalah, kemudahan untuk memperoleh sumber daya energi, baik antara kelompok masyarakat miskin dengan kelompok masyarakat kaya, maupun antara kelompok masyarakat di daerah maju dengan kelompok masyarakat di daerah tertinggal.
Konsumsi Sumber Daya Energi pada Sektor Rumah Tangga
Penggunaan sumber daya energi oleh sektor rumah tangga, di seluruh dunia berkontribusi sekitar 15 persen dari total konsumsi sumber daya energi (www.eia.doe.gov, 2009). Energy Information Administration (2009) mendefinisikan konsumsi sumber daya energi oleh sektor rumah tangga sebagai, segala jenis penggunaan sumber daya energi yang berbanding lurus dengan ukuran bangunan tempat tinggal. Logikanya, penggunaan sumber daya energi akan relatif besar jika ukuran bangunan tempat tinggal juga besar, dan demikian pula sebaliknya. Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, bahwa permasalahan yang sering muncul terkait dengan konsumsi sumber daya energi pada sektor rumah tangga adalah aspek disparitas maupun aspek aksesibiltas.
Berdasarkan laporan yang dipublikasikan oleh International Energy Agency (2009), terdapat fakta bahwa sekitar 20 persen penduduk terkaya di dunia menggunakan sekitar 55 persen sumber daya energi primer, sedangkan sekitar 20 persen penduduk termiskin di dunia hanya menggunakan sekitar lima persen sumber daya energi primer. Sumber daya energi primer terdiri dari, yaitu: minyak bumi, gas bumi, batu bara, listrik yang dihasilkan dengan tenaga air, panas bumi, dan energi lainnya yang bersifat terbarukan (www.esdm.go.id, 2009). Dalam kelompok sumber daya energi primer, masih bisa dipersempit lagi ke dalam kelompok sumber daya energi final. Sumber daya energi final inilah yang secara aktual digunakan oleh rumah tangga. Yang termasuk di dalam kelompok sumber daya energi final adalah, yaitu: briket, minyak tanah, LPG, gas bumi, listrik, arang, dan kayu bakar (www.esdm.go.id, 2009). Hingga tahun 2005, sektor rumah tangga mengkonsumsi sumber daya energi final sebesar 315,10 juta SBM, yang terdiri atas konsumsi energi komersial sebesar 87,80 juta SBM dan energi non komersial sebesar 227,30 juta SBM. Sedangkan berdasarkan jenisnya, pada rentang waktu 1990 hingga 2005 terdapat tiga jenis sumber daya energi final yang penggunaannya mendominasi konsumsi di sektor rumah tangga, yaitu: minyak tanah, listrik, dan kayu bakar. Di dalam negeri sendiri, permasalahan yang terkait dengan aspek aksesibiltas bisa dilihat dari fenomena kelangkaan dan antrian untuk membeli minyak tanah dan LPG, serta rendahnya angka rasio elektrifikasi.
Kondisi Sumber Daya Energi Nasional
Kondisi sumber daya energi yang dimiliki oleh negara Indonesia saat ini dapat dikatakan belum didayagunakan secara optimal. Hal ini tercermin dari beberapa indikator, yaitu:
1) ketidakseimbangan komposisi pemanfaatan sumber daya energi primer.
Hingga tahun 2003, minyak bumi masih dominan sebagai sumber daya energi primer yang paling banyak dimanfaatkan, yaitu sebesar 54,4 persen. Kemudian secara berurutan adalah, yaitu: gas bumi (sebesar 26,5 persen), batubara (sebesar 14,1 persen), pembangkit listrik tenaga air (sebesar 3,4 persen), panas bumi (sebesar 1,4 persen), dan energi lainnya yang bersifat terbarukan (sebesar 0,2 persen);
2) ketidakseimbangan komposisi konsumsi sumber daya energi final.
Hingga tahun 2003, BBM masih dominan sebagai sumber daya energi final yang paling banyak dikonsumsi, yaitu sebesar 63 persen. Kemudian secara berurutan adalah, yaitu: gas (sebesar 17 persen), listrik (sebesar 10 persen), batubara (sebesar 8 persen), dan LPG (sebesar 2 persen);
3) ekspor sumber daya energi primer tinggi, sementara di sisi lain impor BBM juga tinggi;
4) harga ekspor gas bumi dan batubara lebih tinggi dari harga penjualan di dalam negeri; dan
5) APBN masih tergantung pada penerimaan dari sumber daya energi minyak bumi dan gas
bumi, serta adanya subsidi BBM.
Dari kondisi yang telah dipaparkan sebelumnya, maka hal tersebut menyebabkan pengembangan sumber daya energi alternatif (sebagai sumber daya energi yang bisa diperbarui) mengalami hambatan.
PEMBAHASAN
Peluang
Penggunaan sumber daya energi di Indonesia (seperti yang terjadi di negara-negara lain pada umumnya) telah meningkat pesat, seiring dengan pertumbuhan penduduk, pertumbuhan perekonomian, dan perkembangan teknologi. Sampai saat ini, minyak bumi masih merupakan sumber daya energi yang utama untuk memenuhi kebutuhan domestik. Selain untuk memenuhi kebutuhan energi di dalam negeri, minyak bumi juga berperan sebagai komoditas yang menghasilkan penerimaan negara dan sumber devisa. Peranan minyak bumi yang besar tersebut terus berlanjut, sedangkan cadangan semakin menipis. Di lain pihak, harga minyak bumi sangat sulit untuk diperkirakan, sebagai akibat banyaknya faktor eksternal yang berpengaruh (misalnya faktor keamanan di negara-negara produsen minyak bumi tersebut).
Menyadari ketergantungan yang sangat besar kepada minyak bumi tersebut, maka sejak tahun 2005 telah dilakukan upaya-upaya pembenahan oleh pemerintah. Upaya-upaya tersebut (dalam jangka panjang), selain bertujuan untuk menekan tingkat pertumbuhan konsumsi BBM juga bertujuan untuk mengurangi ekspor sumber daya energi primer. Untuk menekan tingkat pertumbuhan konsumsi BBM, pemerintah berinisiatif untuk melakukan pengembangan dan konversi ke bahan bakar non minyak. Ini berarti bahwa, fokus pemerintah dalam jangka panjang (diproyeksikan hingga tahun 2025) adalah mengimplementasikan kebijakan energi yang berdasarkan pengembangan sumber daya energi alternatif (yang bersifat dapat diperbarui). Yang tergolong ke dalam sumber daya energi yang bisa diperbarui adalah, yaitu: tenaga angin, tenaga air, tenaga surya, panas bumi, mini atau micro hydro, bio massa, dan nuklir.
Indonesia sebenarnya memiliki potensi sumber daya energi yang bisa diperbarui sebesar 311.232 MW. Dari jumlah tersebut, kurang lebih hanya 22 persen yang telah dimanfaatkan (www.esdm.go.id, 2009). Fakta tersebut menunjukkan bahwa, peluang bisnis yang terkait dengan penyediaan sumber daya energi yang bisa diperbarui, masih belum tergarap dengan optimal. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, dari berbagai alternatif sumber daya energi yang bisa diperbarui, manakah yang sebaiknya (untuk saat ini) mendapatkan prioritas untuk dikembangkan secara optimal? Dengan mempertimbangkan aspek-aspek lingkungan sosial, maka idealnya sumber daya energi alternatif yang perlu diprioritaskan saat ini adalah sumber daya energi berbasis bio massa. Alasan utama mengapa sumber daya energi alternatif tersebut perlu diprioritaskan adalah, karena: menggunakan teknologi tepat guna yang relatif sederhana, dapat disesuaikan dengan kondisi geografis setempat, dan menekankan pada pemberdayaan masyarakat.
Bio massa merupakan salah satu jenis sumber daya energi alternatif, yang dalam komposisi bauran energi primer secara nasional baru berkontribusi sebesar 0,2 persen saja. Bio massa yang telah diolah lebih lanjut, akan menjadi sumber daya energi final berupa bio fuel (yaitu bahan bakar alami dengan bahan baku bersumber dari alam, terutama dari tumbuh-tumbuhan dan hewan). Potensi energi bio massa sebesar 50 000 MW, dan hanya 320 MW yang sudah dimanfaatkan (hanya 0,64 persen dari seluruh potensi yang ada). Potensi bio massa di Indonesia bersumber dari limbah pertanian, limbah peternakan, dan juga limbah rumah tangga. Ini berarti bahwa, untuk mengembangkan pusat pengolahannya tidak hanya terbatas di kawasan yang secara khusus digunakan untuk pertanian dan peternakan, tetapi juga bisa dikembangkan di kawasan pemukiman penduduk.
Contoh bio massa yang bersumber dari limbah pertanian adalah, bio massa dengan memanfaatkan produk sampingan kelapa sawit. Indonesia memiliki potensi besar untuk memanfaatkan produk sampingan kelapa sawit sebagi sumber daya energi yang bisa diperbarui. Kelapa sawit Indonesia merupakan salah satu komoditas yang mengalami pertumbuhan sangat pesat. Pada periode tahun 1980-an hingga pertengahan tahun 1990-an, luas areal kebun meningkat sebesar 11 persen per tahun. Sejalan dengan luas area produksi, CPO juga meningkat sebesar 9,4 persen per tahun. Sampai dengan tahun 2010, produksi CPO diperkirakan meningkat sebesar lima hingga enam persen per tahun, sedangkan untuk periode 2010 hingga 2020 pertumbuhan produksi berkisar antara dua hingga empat persen. Pengembangan produk sampingan kelapa sawit sebagai sumber energi alternatif memiliki beberapa keunggulan. Pertama, sumber energi tersebut merupakan sumber energi yang bersifat renewable sehingga bisa menjamin kesinambungan produksi. Kedua, Indonesia merupakan produsen utama minyak kelapa sawit sehingga ketersediaan bahan baku akan terjamin dan industri ini berbasis produksi dalam negeri. Ketiga, pengembangan alternatif tersebut merupakan proses produksi yang ramah lingkungan.
Ancaman
Isu sensitivitas gender, jika tidak diperhatikan dengan cermat akan menimbulkan ancaman tersendiri, dalam upaya pengembangan sumber daya energi alternatif. Gender adalah suatu konsep yang membedakan laki-laki dan perempuan, semata-mata berdasarkan karakteristik sosial dalam bentuk tugas, peran, kewajiban dan hubungan. Perempuan, jika ada, jarang terlibat dalam proses pembuatan kebijakan dan program-program pengelolaan sumber daya energi, meskipun sesungguhnya mereka berperan besar dalam penyediaan dan pemanfaatan sumber daya energi, baik di pedesaan maupun perkotaan. Mayoritas di daerah pedesaan, yang mana energi komersial seperti listrik dan LPG tidak tersedia, perempuanlah yang bertanggungjawab dalam pengadaan dan pemanfaatan energi tradisional seperti kayu bakar dan arang (briket). Ironisnya, rata-rata sekitar 150.000 orang (didominasi oleh perempuan dan anak-anak) meninggal dini per tahun, disebabkan karena polusi udara dari penggunaan kayu bakar dan arang (www.iea.org, 2009). Perempuan di daerah perkotaan mempunyai peran yang cukup besar dalam menentukan bentuk sumber daya energi yang akan digunakan, pemilihan peralatan-peralatan energi, dan menerapkan gaya hidup hemat energi. Oleh sebab itu, dibutuhkan kesetaraan gender dalam sektor energi. Ini berarti bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai akses, kontrol, partisipasi dan manfaat yang sama dari energi. Kemudahan akses energi bagi perempuan, maka perempuan mempunyai kesempatan dan waktu untuk melakukan kegiatan lain, seperti meningkatkan ketrampilan dan pendidikan.
DAFTAR PUSTAKA
Achjari, Agus. 2008. Modul Introduction to Business. MM UGM. Yogyakarta
Ancok, Djamaludin. 2009. “Social Environment and Business.” General Business Environment: Syllabus and Material. MM UGM. Yogyakarta
2005. ”Blueprint Pengelolaan Energi Nasional 2005 - 2025” [online]. Tersedia di http://www. esdm.go.id [Diakses pada 31 Januari 2009]
2009. ”Indonesia Energy Statistics 2008” [online]. Available at
http:// www. esdm.go.id [Accessed January 31, 2009]
June 2008. ”International Energy Outlook 2008” [online]. Available at
http:// www.eia.doe.gov [Accessed January 31, 2009]
2008. ”World Energy Outlook 2008 Fact Sheet: Global Energy Trends” [online]. Available at http:// www.iea.org [Accessed January 31, 2009]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar