Jumat, 31 Juli 2009

Aksesibilitas dan Disparitas Energi Listrik: Suatu Tinjauan

PENDAHULUAN
Negara yang memiliki kandungan sumber daya alam yang besar, idealnya juga memiliki tingkat kemakmuran yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan negara lain yang tidak memiliki sumber daya alam. Logika yang menjelaskan premis tersebut adalah, bahwa sumber daya alam yang ada dimanfaatkan untuk menggerakkan aktivitas pembangunan. Aktivitas pembangunan yang paling vital adalah penyediaan infrastruktur. Infrastruktur merupakan fasilitas fisik beserta layanannya yang diadakan untuk mendukung bekerjanya sistem sosial-ekonomi, sehingga berfungsi untuk memenuhi kebutuhan dasar dan memecahkan berbagai masalah (Kuncoro, 2009). Dari dimensi ekonomi, infrastruktur mencakup: infrastruktur transportasi (misalnya jalan raya), infrastruktur ekonomi (misalnya pasar), infrastruktur pertanian (misalnya saluran irigasi), infrastruktur sosial (misalnya tempat peribadatan), infrastruktur kesehatan (misalnya rumah sakit), infrastruktur energi (misalnya jaringan listrik), dan infrastruktur telekomunikasi. Adanya infrastruktur yang memadai akan menimbulkan multiplier effect berupa terbukanya akses masyarakat terhadap pemenuhan kebutuhan (seperti kebutuhan dasar, pendidikan, kesehatan, dan sebagainya). Pendidikan dan kesehatan yang memadai berdampak pada upaya pengentasan kemiskinan dan penciptaan sumber daya manusia yang berkualitas. Todaro (1994) menyatakan bahwa, salah satu masalah yang sering dihadapi oleh negara yang sedang berkembang adalah mengenai jumlah penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan (poverty line).

Dengan teratasinya masalah kemiskinan dan terciptanya sumber daya manusia yang berkualitas, maka hal tersebut akan menciptakan kemandirian sekaligus memperkuat daya saing nasional. Tetapi pada kenyataannya, tidak semua negara mengalami siklus ideal seperti yang telah disebutkan. Ada negara-negara yang walaupun memiliki anugerah sumber daya alam relatif besar, tetapi pada kenyataannya justru mengalami kemunduran ekonomi dan daya saing. Indonesia sebagai salah satu negara berkembang dengan anugerah sumber daya alam relatif besar, yang walaupun relatif tidak mengalami kemunduran ekonomi dan daya saing, tetapi tidak bisa dikatakan telah optimal dalam memanfaatkan sumber daya alam tersebut untuk menyejahterakan masyarakat. Salah satu sumber daya alam yang vital untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat adalah sumber daya energi. Dikatakan vital karena, keamanan pasokan energi merupakan hal yang mendasar untuk mempertahankan keberlangsungan pembangunan ekonomi. Kapasitas energi yang terbatas akan berdampak pada potensi produksi, yang pada gilirannya akan menjadi penghambat dalam menopang pembangunan ekonomi jangka panjang. Secara garis besar, sumber daya energi bisa digolongkan menjadi dua, yaitu: sumber daya energi terbarukan (renewable energy resources) dan sumber daya energi yang tidak terbarukan (non renewable energy resources). Yang tergolong ke dalam sumber daya energi terbarukan adalah: tenaga angin, tenaga air, tenaga surya, panas bumi, mini atau micro hydro, bio massa, dan nuklir. Sementara yang tergolong ke dalam sumber daya energi tidak terbarukan adalah: minyak bumi, gas bumi, dan batu bara (www.esdm.go.id, 2009).

Sedangkan alasan lain mengenai arti pentingnya sumber daya energi adalah, bahwa hampir semua sektor kehidupan (yaitu sektor industri, sektor rumah tangga, sektor transportasi, dan lain-lain) tidak bisa dipisahkan dari sumber daya energi. Permasalahan yang sering muncul terkait dengan konsumsi sumber daya energi dapat digolongkan menjadi dua, yaitu: disparitas dan aksesibilitas. Terkait dengan disparitas adalah, adanya perbedaan konsumsi sumber daya energi antara kelompok masyarakat miskin dengan kelompok masyarakat kaya. Sedangkan untuk aksesibilitas adalah, kemudahan untuk memperoleh sumber daya energi, baik antara kelompok masyarakat miskin dengan kelompok masyarakat kaya, maupun antara kelompok masyarakat di daerah maju dengan kelompok masyarakat di daerah tertinggal. Laporan yang dipublikasikan oleh International Energy Agency (2009), terdapat fakta bahwa sekitar 20 persen penduduk terkaya di dunia menggunakan sekitar 55 persen sumber daya energi primer, sedangkan sekitar 20 persen penduduk termiskin di dunia hanya menggunakan sekitar lima persen sumber daya energi primer. Sumber daya energi primer terdiri dari, yaitu: minyak bumi, gas bumi, batu bara, listrik yang dihasilkan dengan tenaga air, panas bumi, dan energi lainnya yang bersifat terbarukan (www.esdm.go.id, 2009). Dalam kelompok sumber daya energi primer, masih bisa dipersempit lagi ke dalam kelompok sumber daya energi final. Sumber daya energi final inilah yang secara aktual digunakan oleh rumah tangga. Yang termasuk di dalam kelompok sumber daya energi final adalah, yaitu: briket, minyak tanah, LPG, gas bumi, listrik, arang, dan kayu bakar (www.esdm.go.id, 2009). Pada rentang waktu 1990 hingga 2005 terdapat tiga jenis sumber daya energi final yang penggunaannya mendominasi konsumsi di sektor rumah tangga, yaitu: minyak tanah, listrik, dan kayu bakar.

ANALISIS
Energi listrik, sebagai salah satu unsur vital dalam pembangunan ekonomi nasional, memiliki peranan penting untuk meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat. Seberapa cepat suatu masyarakat bisa berkembang sangat tergantung pada (salah satunya) ketersediaan energi listrik. Sehingga bisa disimpulkan, ketiadaan energi listrik jelas akan menghambat keberlangsungan aktivitas pembangunan ekonomi. Faktanya adalah, secara relatif sebagian besar populasi di Indonesia masih belum menikmati energi listrik. Ini dibuktikan dengan angka Rasio Elektrifikasi Nasional, yaitu sebesar 36 persen penduduk Indonesia yang belum mempunyai sambungan listrik dari PT. PLN (Persero) (www.kadin.or.id, 2009). Selain masalah aksesibilitas, masalah pelik lainnya dalam pengelolaan energi listrik di Indonesia adalah terkait dengan aspek disparitas. Data statistik dari PT. PLN (Persero) menunjukkan bahwa, hingga tahun 2005 kapasitas listrik terpasang di wilayah Jawa-Bali mencapai tiga kali lebih besar daripada wilayah di luar Jawa-Bali (www.esdm.go.id, 2009).

Tabel 1

Disparitas Akses Kelistrikan Pada Tahun 2005

Wilayah

Jumlah

Rumah Tangga

(Juta)

Kapasitas Terpasang (Mw)

Rasio Elektrifikasi (%)

Konsumsi Listrik Per Kapita (Kwh/orang)

Jawa-Bali

36,77

16.356

57,65

640,11

Luar Jawa-Bali

22,75

6.160

48,27

260,27


Walaupun secara ekonomi wilayah Jawa-Bali lebih baik daripada wilayah di luar Jawa-Bali, tetapi tidak bisa dielakkan bahwa justru wilayah di luar Jawa-Bali memiliki lebih banyak sumber daya energi. Ini menandakan bahwa, potensi sumber daya energi lokal di luar wilayah Jawa-Bali pemanfaatannya masih sangat minim.

KESIMPULAN
Dari paparan yang telah disampaikan sebelumnya, dapat diambil kesimpulan bahwa masalah pembangunan nasional yang penanganannya mendesak untuk diprioritaskan adalah penyediaan infrastruktur (khususnya infrastruktur energi listrik) yang memadai. Penyediaan infrastruktur energi listrik menjadi penting, karena ketiadaan energi listrik (dilihat dari aspek aksesibilitas dan disparitasnya) akan menghambat keberlangsungan aktivitas pembangunan ekonomi. Atas permasalahan tersebut, maka solusi yang bisa diajukan adalah: mengoptimalkan pemanfaatan potensi sumber daya energi lokal (khususnya di luar wilayah Jawa-Bali) dan mengurangi ketergantungan pada sumber energi tidak terbarukan (terutama minyak bumi) untuk menghasilkan energi listrik.

Agar solusi tersebut bisa terlaksana, maka sangat dibutuhkan peran aktif dari pemerintah pusat. Alasan mengapa pemerintah pusat perlu berperan aktif adalah, karena selama ini pengelolaan energi listrik didominasi oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Yang dapat dilakukan pemerintah pusat adalah merestrukturisasi sektor energi, melalui mekanisme desentralisasi. Desentralisasi dilakukan dengan mendorong para pemerintah daerah untuk berperan aktif. Pemerintah daerah mengkombinasikan pengetahuan mereka akan sumber daya lokal yang potensial dengan tingkat kebutuhan listrik di daerahnya. Idealnya, jika pemanfaatan sumber daya lokal untuk menghasilkan energi listrik berjalan dengan baik, maka tingkat kesejahteraan di daerah setempat juga akan meningkat.

DAFTAR PUSTAKA
Kuncoro, Mudrajad. 18 Februari 2009. ”Akselerasi Infrastruktur”. [online]. Tersedia di http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/214489/ [Diakses pada 27 Februari 2009]
Todaro, Michael P. 1994. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Edisi Terjemahan. Penerbit Erlangga. Jakarta
2005. ”Blueprint Pengelolaan Energi Nasional 2005 - 2025” [online]. Tersedia di http://www. esdm.go.id [Diakses pada 31 Januari 2009]
2008. ”World Energy Outlook 2008 Fact Sheet: Global Energy Trends” [online]. Available at http:// www.iea.org [Accessed January 31, 2009]

Senin, 13 Juli 2009

Need Cash? Look Inside Your Company....(3)

Here there are the rest of "don'ts" about working-capital management:

4. Don't tie receivables to payables.
The power balance in your supplier relationships may be very different from that of your customer relationships. Example: when a French small-appliance manufacturer introduced different terms of trade for each of its supplier and customer segments, it freed up capital of around €35 million, for a business with annual revenues of less than €450 million.

5. Don't manage by current and quick ratios.
Bankers use current and quick ratios in making credit decisions, and many companies consequently try to maximize those numbers. Example: a French consumer goods company proudly announced that its current ratio had risen from 110% to 200% and its quick ratio from 35% to 100%. The company declared insolvency six months later.

6. Don't benchmark competitors.
Managers become complacent when their working-capital metrics are in line with industry norms. Example: it was only when Michael Dell compared Dell Computer's working-capital management with retailers' rather than with other computer companies' that he realized what his company could potentially achieve.


Source: hbr.org/may 2009/financial crisis spotlight


Kamis, 09 Juli 2009

Need Cash? Look Inside Your Company....(2)

The six "don'ts" of working-capital management are:

1. Don't manage to the income statement.
Many important cost items don't appear on the income statement, which often encourages managers to tie capital up in stock and receivables. Example: one metals refining firm reduced its level of receivables from 185 days to 45 days. This caused a fall in sales but allowed the company to save $8 million a year in reduced capital costs, which more than compensated for the lower operating profit.

2. Don't reward the sales force for growth alone.
When salespeople are rewarded only for booked sales, they have no incentive to help you manage customer payments. Example: at the same metals refining firm, the sales staff was directed to help manage receivables. The percentage of overdue or bad receivables fell from 12% to less than 0.5% of the total, generating annual cash flow of nearly $3 million.

3. Don't overemphasize production quality.
Rewarding production people primarily on quality metrics encourages them to gold-plate and slow down production. Example: one European producer of drive systems for power generation had a manufacturing cycle nearly three times longer than those of its competitors, but the company was unable to pass associated costs along to customers. By scaling back on non-value-added quality, the firm reduced cycle times and cut inventory by 20 days, freeing up €20 million in capital.

...........(4,5,6nya besok lagi yah. Sabar!)

Jumat, 03 Juli 2009

Need Cash? Look Inside Your Company....(1)

Thanks to the credit crisis, companies are scrambling for cash. Time to take a cold, hard look at the way you manage working capital. According to Kevin Kaiser and S. David Young, there are 6 "don'ts" of working-capital management, i.e: don't manage to the income statement, don't reward the sales force for growth alone, don't overemphasize production quality, don't tie receivables to payables, don't manage by current and quick ratio, and the last is don't benchmark competitors.


............(ntar disambung lg yah hehehe)